PANGKEP SULSEL - Dalam kehidupan masyarakat desa yang kaya akan potensi sumber daya alam, sistem bagi hasil menjadi jembatan penting untuk mewujudkan keadilan ekonomi. Konsep ini tidak hanya menekankan keuntungan, tetapi juga mengutamakan kebersamaan, kepercayaan, dan keadilan di antara pihak-pihak yang terlibat. Pemilik lahan, pekerja, dan investor masing-masing memiliki peran penting yang saling melengkapi. Ketika ketiganya bersatu dalam semangat saling percaya, maka usaha yang dijalankan akan tumbuh dengan kuat dan berkelanjutan.
Pemilik lahan adalah fondasi utama dari usaha berbasis pertanian, peternakan, atau perikanan. Ia memberikan kontribusi berupa aset berharga yang menjadi tempat tumbuhnya produktivitas. Namun, tanpa modal dan tenaga kerja, lahan tersebut sering kali tidak menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu, pemilik lahan perlu melihat sistem bagi hasil bukan sekadar cara menyewakan tanah, tetapi sebagai bentuk kolaborasi strategis untuk menggerakkan roda ekonomi desa.
Investor hadir sebagai penggerak ekonomi yang menanamkan modal dan risiko. Mereka bukan sekadar pemberi uang, tetapi juga bagian dari sistem nilai yang mendukung pertumbuhan desa. Melalui investasi yang transparan dan berbasis hasil, para investor dapat melihat bahwa menanam modal di sektor riil seperti pertanian jauh lebih bermakna dibanding sekadar menyimpan uang di lembaga keuangan. Keuntungan bukan hanya berupa laba, tetapi juga kesejahteraan sosial yang tumbuh di masyarakat.
Di sisi lain, pekerja atau pengelola lapangan adalah jantung dari sistem ini. Mereka menjadi pelaksana langsung yang memastikan setiap proses berjalan sesuai rencana. Melalui sistem bagi hasil, para pekerja tidak lagi diposisikan sebagai buruh semata, tetapi sebagai mitra sejajar dalam usaha. Dengan demikian, semangat kerja meningkat karena mereka merasa memiliki tanggung jawab dan hak atas hasil jerih payahnya.
Keadilan dalam pembagian hasil adalah kunci utama dari keberhasilan sistem ini. Persentase yang proporsional sesuai kontribusi setiap pihak akan menciptakan rasa keadilan dan saling menghargai. Pemilik lahan, investor, dan pekerja harus duduk bersama menentukan rumus yang disepakati secara terbuka. Ketika semua pihak mengetahui peran dan haknya, maka potensi konflik dapat dihindari dan kerja sama akan berjalan dengan harmonis.
Sistem bagi hasil juga mendorong kemandirian ekonomi desa. Dengan pola ini, masyarakat tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bantuan pemerintah, tetapi belajar mengelola sumber daya sendiri. Setiap pihak belajar bertanggung jawab terhadap hasil, baik ketika untung maupun rugi. Kesadaran kolektif seperti ini merupakan langkah maju dalam membangun ekonomi lokal yang tangguh dan berkeadilan.
Lebih dari sekadar urusan bisnis, bagi hasil merupakan budaya gotong royong versi modern. Ia menggabungkan nilai tradisional dengan konsep ekonomi berkeadilan. Jika dahulu masyarakat bekerja bersama dalam sistem “mapalus” atau “gotong royong tani”, kini konsep itu dapat diperkuat melalui kontrak sosial yang lebih terstruktur namun tetap berjiwa kebersamaan.
Pemerintah desa juga memiliki peran penting untuk mendukung penerapan sistem ini. Dukungan berupa regulasi, pelatihan, dan pendampingan sangat dibutuhkan agar pelaksanaannya berjalan profesional. Desa yang mampu membangun sistem bagi hasil yang adil dan transparan akan melahirkan masyarakat yang mandiri dan makmur.
Pada akhirnya, sistem bagi hasil bukan sekadar rumus ekonomi, tetapi filosofi hidup yang menanamkan nilai kejujuran, tanggung jawab, dan kebersamaan. Ketika pemilik lahan, investor, dan pekerja bersepakat dalam satu tujuan—yaitu kesejahteraan bersama—maka keberkahan usaha akan mengalir bukan hanya di rekening, tetapi juga di hati masyarakat desa. Inilah jalan tengah menuju keadilan ekonomi dan kemajuan yang berkelanjutan.
Baik, berikut contoh sistem bagi hasil sederhana dan adil antara pemilik lahan, pekerja, dan investor, bisa disesuaikan untuk bidang pertanian, peternakan, atau usaha olahan hasil bumi.
🟢 SISTEM BAGI HASIL USAHA (Contoh Model Umum)
1. Pihak yang Terlibat
1. Pemilik Lahan (A) – Menyediakan tanah/lahan untuk kegiatan usaha.
2. Investor (B) – Menyediakan modal uang, peralatan, dan sarana produksi.
3. Pekerja/Pengelola (C) – Menyediakan tenaga kerja dan mengelola kegiatan harian di lapangan.
2. Kontribusi Masing-Masing
Pihak Kontribusi Keterangan
Pemilik Lahan Tanah/lahan usaha Nilai kontribusi dihitung berdasarkan harga sewa pasar per musim/tahun
Investor Modal, pupuk, bibit, alat Termasuk biaya operasional dan resiko modal
Pekerja Tenaga dan waktu Melaksanakan kegiatan di lapangan, mulai dari awal sampai panen
3. Pembagian Hasil (Contoh Rasio)
Berikut beberapa model pembagian hasil yang umum dan bisa disesuaikan:
Model A (Kontribusi Seimbang)
Pemilik Lahan: 30%
Investor: 40%
Pekerja/Pengelola: 30 persen
Cocok untuk: usaha pertanian dengan lahan pinjaman, investor kuat, pekerja aktif di lapangan.
Model B (Lahan Milik Sendiri, Modal dari Investor)
Pemilik Lahan: 40%
Investor: 40%
Pekerja: 20%
Cocok untuk: lahan besar, tenaga kerja dibayar sebagian hasil.
Model C (Gotong Royong + Upah Kerja Awal)
Pemilik Lahan: 35%
Investor: 35%
Pekerja: 30% (termasuk upah kerja harian, bisa dikurangi dari hasil akhir
Cocok jika pekerja mendapat upah bulanan sebagian, dan sisa dibayar dari hasil panen/laba.
4. Ketentuan Tambahan
1. Risiko Kerugian Dibagi Proporsional sesuai persentase kontribusi.L
2. Perjanjian Tertulis perlu dibuat dengan saksi desa atau notaris jika skala besar.
3. Transparansi Keuangan: semua pengeluaran dan hasil panen dicatat bersama.
4. Jangka Waktu: disepakati (misalnya per musim tanam, per tahun, atau per proyek).
5. Audit Hasil: dilakukan bersama untuk menghindari salah paham.
5. Contoh Simulasi
Misal keuntungan bersih: Rp 100 juta
Pakai Model B:
Pemilik Lahan (40%) → Rp 40 juta
Investor (40%) → Rp 40 juta
Pekerja (20%) → Rp 20 juta
Pangkep 8 Nopember 2025
Herman Djide
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jurnalis Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan

20 hours ago
7

















































