PANGKEP SULSEL - Di banyak desa dan Kelurahan hari ini, pemandangan yang sering kita lihat adalah hamparan lahan luas yang tak lagi digarap. Dahulu, tanah-tanah itu menjadi sumber kehidupan bagi warga. Namun kini, banyak yang dibiarkan tidur panjang, tertutup semak, dan kehilangan daya hidupnya. Lahan nganggur bukan hanya tanda tanah yang mati, tapi juga simbol padamnya semangat kerja dan gotong royong di tengah masyarakat desa.
Padahal, di balik tanah yang terdiam itu tersimpan potensi besar untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Setiap jengkal tanah menyimpan rezeki jika dikelola dengan baik. Ubi, pisang, jagung, cabai, hingga sayur cepat panen — semua bisa tumbuh subur bila masyarakat mau kembali menanam. Sayangnya, banyak warga yang ragu memulai, takut rugi, atau merasa sendirian tanpa dukungan modal dan pasar yang pasti.
Inilah sebabnya mengapa gerakan mengaktifkan lahan tidur perlu dimulai dari pendekatan hati dan contoh nyata. Pemerintah desa, tokoh masyarakat, hingga BUMDes harus hadir sebagai penggerak dan pemberi semangat. Tidak cukup hanya menyerukan “ayo menanam, ” tapi harus memberi teladan, membuka lahan contoh, dan menunjukkan hasil yang benar-benar bisa dirasakan warga. Sebab, masyarakat akan bergerak kalau mereka melihat bukti, bukan hanya mendengar janji.
Kunci utama keberhasilan terletak pada konsep petik–olah–jual. Selama ini banyak warga enggan menggarap lahan karena hasil mentah sulit dipasarkan. Namun jika hasil pertanian langsung diolah menjadi produk bernilai tinggi — seperti susu ubi, keripik pisang, atau pupuk organik cair — maka rantai keuntungan akan lebih panjang. Masyarakat tak hanya jadi petani, tapi juga pelaku usaha yang mandiri dan kreatif.
Selain nilai ekonomi, menghidupkan lahan juga berarti mengembalikan kebanggaan desa. Ketika sawah hijau kembali, ketika hasil panen memenuhi pasar lokal, masyarakat akan merasakan bahwa desa mereka mampu berdiri di atas kaki sendiri. Anak-anak bisa belajar langsung dari alam, dan kaum muda tak lagi harus pergi jauh mencari pekerjaan, karena peluang sudah tumbuh di halaman sendiri.
Perlu pula dibangun sistem kebersamaan seperti Kelompok Usaha Bersama (KUB) atau BUMDes sektor pertanian. Melalui sistem ini, beban kerja, modal, dan hasil bisa dibagi secara adil. Yang tidak punya lahan bisa ikut mengolah; yang punya lahan tapi tak sempat menggarap bisa menyewakan. Semua berjalan dalam semangat gotong royong — roh sejati masyarakat desa Indonesia.
Program pelatihan dan pendampingan juga menjadi bagian penting. Petani harus dibekali pengetahuan modern: cara membuat pupuk organik, pestisida alami, hingga teknik olahan pascapanen. Dengan pendampingan yang rutin, mereka tidak hanya bisa menanam, tapi juga mengelola hasil dan memasarkan produk dengan lebih baik. Inilah langkah menuju desa yang produktif dan berdaya saing.
Lebih dari sekadar ekonomi, menghidupkan lahan mati adalah gerakan sosial. Ia menumbuhkan kebersamaan, menciptakan pekerjaan, dan mengikat kembali hubungan antarwarga. Desa yang dahulu sunyi kini bisa ramai oleh aktivitas, dari mencangkul, memupuk, hingga mengolah hasil panen. Setiap peluh menjadi bagian dari kebangkitan bersama.
Sudah saatnya desa-desa bangkit dari tidur panjangnya. Jangan biarkan tanah subur menjadi saksi bisu kemalasan manusia. Mari kita hidupkan kembali lahan yang terabaikan, tanamkan semangat kerja, dan jadikan bumi desa sebagai sumber berkah bagi generasi yang akan datang. Karena ketika lahan kembali hidup, maka kehidupan masyarakat pun akan ikut tumbuh — hijau, sejahtera, dan bermartabat.
Pangkep 7 Oktober 2025
Herman Djide
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jurnalis Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi