PANGKEP SULSEL - Di sepanjang perjalanan melintasi sejumlah kecamatan, pemandangan hamparan sawah yang kosong terbentang luas. Tanahnya retak, mengeras, dan tak lagi hijau seperti saat masa panen tiba. Sebagian besar petani memilih membiarkan sawahnya menganggur setelah dua kali panen dalam setahun. Kebiasaan ini telah berlangsung lama, seolah menjadi pola alami dalam kehidupan bertani.
Namun di balik kebiasaan itu, tersembunyi persoalan mendasar yang terus berulang: ketiadaan sumber air di musim kemarau. Begitu hujan berhenti, irigasi mengering, dan petani pun kehilangan kemampuan untuk menanam kembali. Padahal, lahan sawah yang luas itu sejatinya memiliki potensi ekonomi luar biasa jika mampu diolah sepanjang tahun.
Fenomena ini bukan hanya soal air, melainkan juga soal kebijakan, kebiasaan, dan inovasi. Di banyak daerah, ketergantungan terhadap sistem irigasi lama membuat petani tidak berani mencoba pola tanam alternatif. Akibatnya, ribuan hektar sawah seolah tertidur panjang menunggu musim hujan berikutnya.
Padahal, solusi sebenarnya tidak selalu rumit. Di beberapa daerah, petani sudah memanfaatkan embung kecil atau kolam penampungan air hujan untuk menyelamatkan masa tanam ketiga. Ada pula yang menggunakan pompa tenaga surya untuk mengairi lahan tanpa harus bergantung pada jaringan listrik. Inovasi kecil semacam ini membuktikan bahwa kemandirian air bukan sesuatu yang mustahil.
Lebih dari sekadar teknologi, yang dibutuhkan adalah perubahan pola pikir. Pertanian modern menuntut keberanian untuk mencoba. Jika air sulit didapat, maka pilihan tanaman harus disesuaikan. Ubi jalar, jagung, atau kacang hijau dapat tumbuh baik di lahan yang tidak terlalu basah. Diversifikasi tanaman semacam ini tidak hanya menjaga produktivitas tanah, tetapi juga menambah sumber penghasilan bagi petani.
Pemerintah daerah pun memiliki peran besar dalam hal ini. Program padat karya untuk pembuatan sumur bor, embung desa, dan irigasi mikro bisa menjadi solusi nyata. Alih-alih hanya menyalurkan bantuan bibit padi setiap musim hujan, lebih baik fokus pada infrastruktur air dan pelatihan pertanian adaptif.
Sayangnya, kebijakan sering kali berhenti pada seremoni panen raya dan foto-foto keberhasilan. Padahal, keberhasilan sejati pertanian adalah saat petani tetap bisa mengolah tanahnya di musim kering tanpa harus menunggu datangnya hujan. Sawah yang produktif sepanjang tahun berarti ketahanan pangan yang lebih kuat bagi daerah.
Kita juga perlu mendorong peran kelompok tani dan BUMDes sebagai pengelola sumber air bersama. Dengan sistem iuran kecil, petani bisa membangun kolam retensi, membeli pompa air, dan mengatur giliran tanam. Gotong royong semacam ini menjadi kekuatan sosial yang sering terlupakan dalam pertanian masa kini.
Selain air, aspek pelatihan dan pengetahuan juga penting. Banyak petani yang belum memahami cara efisien menggunakan air, seperti irigasi tetes atau sistem mulsa jerami untuk menjaga kelembapan tanah. Penyuluh pertanian harus aktif hadir bukan hanya sebagai penonton, tetapi sebagai pembimbing perubahan.
Menariknya, di beberapa daerah lain, inovasi “padi apung” mulai diuji coba di lahan rawa atau pesisir. Teknologi ini bisa menjadi inspirasi untuk lahan sawah yang sering tergenang atau kekeringan bergantian. Dengan sistem rakit terapung, petani tetap bisa menanam padi meski kondisi air tidak stabil.
Bayangkan jika ribuan hektar sawah yang kini menganggur itu bisa diubah menjadi kebun hortikultura, ladang palawija, atau bahkan lahan energi terbarukan seperti tanaman bioetanol. Setiap jengkal tanah yang kembali produktif berarti tambahan pendapatan, lapangan kerja, dan daya tahan ekonomi desa.
Maka sudah saatnya kita berhenti menyalahkan musim. Musim kemarau bukan alasan untuk berhenti menanam, melainkan tantangan untuk beradaptasi. Dengan semangat inovasi, dukungan teknologi, dan sinergi pemerintah serta masyarakat, sawah-sawah kosong itu bisa kembali hidup.
Kemandirian pangan tidak lahir dari lahan luas semata, tetapi dari cara kita mengelola setiap tetes air dan setiap jengkal tanah. Jika air menjadi masalah, maka inovasi harus menjadi jawabannya. Sawah yang menganggur bisa kembali hijau — asal ada kemauan, kolaborasi, dan keberanian untuk berubah
Banyak daerah pertanian — setelah dua kali masa panen, sawah dibiarkan kosong karena keterbatasan sumber air di musim kemarau. Namun sebenarnya ada beberapa solusi strategis dan teknis yang bisa diterapkan agar lahan tidak menganggur dan tetap produktif. Berikut penjelasannya:
🌾 1. Optimalisasi Sumber Air dan Irigasi Alternatif
Pembuatan sumur bor dangkal atau sumur pantek di lokasi strategis untuk memenuhi kebutuhan air musiman. Pemanfaatan embung desa atau kolam retensi untuk menampung air hujan di musim penghujan, yang bisa dialirkan ke sawah saat kemarau. Irigasi tetes atau sprinkler skala kecil untuk tanaman hortikultura, efisien dan hemat air. Pompanisasi air dari sungai atau rawa terdekat (bila ketinggian memungkinkan) menggunakan pompa tenaga surya.
🌱 2. Pola Tanam Bergilir dan Diversifikasi
Daripada membiarkan lahan kosong, petani bisa melakukan: Tanam palawija (jagung, kacang hijau, kedelai, ubi jalar, cabai) yang lebih tahan kering. Tanaman sela seperti semangka, mentimun, atau sayur-sayuran pendek umur. Budidaya padi gogo atau padi apung, yang cocok di lahan kering atau tergenang sementara.
💧 3. Konservasi Air dan Pertanian Ramah Lingkungan
Gunakan mulsa jerami untuk menjaga kelembapan tanah. Terapkan Sistem Tanam Jajar Legowo agar efisien dalam penggunaan air. Gunakan pupuk organik cair dari limbah lokal (misalnya dari kulit kepiting atau limbah peternakan) untuk memperbaiki struktur tanah.
🌿 4. Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna
Pompa tenaga surya bisa menjadi solusi berkelanjutan untuk mengairi sawah tanpa biaya listrik tinggi. Sensor kelembapan tanah untuk membantu petani menentukan kapan waktu efektif penyiraman. Aplikasi cuaca dan kalender tanam digital untuk menentukan pola tanam yang sesuai kondisi air dan musim.
👥 5. Kolaborasi Pemerintah dan Kelompok Tani
Diperlukan program padat karya atau subsidi irigasi mikro untuk membantu petani membangun infrastruktur air kecil. Koperasi tani atau BUMDes bisa menjadi pengelola embung dan irigasi bersama Penyuluhan pertanian terpadu untuk mengubah kebiasaan "dua kali tanam lalu istirahat" menjadi "produksi berkelanjutan sepanjang tahun".
Pangkep 13 Oktober 2025
Herman Djide
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jurnalis Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan