Hendri Kampai: Irigasi, Nadi Kehidupan dan Mimpi Sejahtera di Ladang Petani

3 weeks ago 6

PERTANIAN - Bayangkan hidup di desa kecil yang subur, namun ironi menyedihkan terus melingkari nasib para petaninya. Di sana, mereka bekerja tanpa lelah dari pagi buta hingga matahari terbenam, melintasi batas waktu hanya demi sepetak lahan yang mereka cintai. Bertani bukan sekadar pekerjaan bagi mereka; ini adalah napas, jiwa, dan sumber harapan yang menghidupi keluarga serta mewarnai hari-hari. Namun, tanpa irigasi yang memadai, setiap musim tanam justru menjadi ajang berjudi dengan alam.

Seperti sebuah mitos, ada satu kata yang berulang kali didengar para petani—“swasembada pangan.” Entah sudah berapa kali para petani mendengar janji-janji manis soal swasembada ini. Namun, bagaimanakah petani bisa memenuhi panggilan ini jika sawah-sawah mereka kering? Air, sang sumber kehidupan itu, datang hanya kala hujan dan pergi cepat saat kemarau. Petani hanya bisa bertani dua kali setahun—jika beruntung. Bagaimana mereka bisa menanam tiga kali setahun jika tanpa irigasi? Bagi mereka, swasembada pangan hanyalah bualan yang sering kali terkesan menghibur rakyat, sementara kenyataan pahit terus menghantui hari-hari mereka di ladang.

Mari bayangkan, seandainya irigasi tersedia sepanjang tahun, dengan pasokan air yang cukup. Petani bisa menanam tiga kali setahun, bahkan tanpa memikirkan biaya tambahan untuk pompa air yang merogoh kantong dalam-dalam. Dengan irigasi yang memadai, petani tak perlu lagi berpeluh mencari solusi mahal untuk menyalurkan air ke sawah-sawah mereka. Ini bukan sekadar efisiensi; ini adalah meringankan beban hidup para petani yang sudah cukup berat.

Namun, ada lagi ironi yang semakin membuat para petani menundukkan kepala. Meski beras lokal melimpah dari jerih payah mereka, pasar tetap saja disesaki oleh beras impor dengan harga yang lebih murah. Setiap panen datang, petani tidak bisa bergembira penuh karena harga beras lokal jatuh lebih rendah dari biaya produksinya. Rasa lelah berlipat ganda ketika jerih payah mereka kalah bersaing dengan harga beras impor yang lebih murah. Begitu banyak tenaga, waktu, dan uang yang dikeluarkan, namun akhirnya mereka hanya bisa melihat hasil kerja kerasnya dihargai rendah. Alangkah baiknya, jika anggaran yang terus-menerus dikeluarkan untuk impor beras ini dialihkan untuk memperbaiki irigasi, menciptakan kemandirian pangan yang sejati.

Di balik semua itu, irigasi adalah solusi nyata bagi para petani—bukan sekadar janji atau angan-angan. Perbaikan irigasi ini adalah investasi yang langsung menjawab kebutuhan mereka. Ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan tentang menghargai keringat petani yang tak kenal waktu. Dengan irigasi yang baik, petani tak perlu lagi bersusah payah mencari air dan mengeluarkan ongkos besar; mereka bisa fokus menanam, merawat, dan memanen padi yang menjadi tumpuan hidup mereka.

Pada akhirnya, menghidupkan sistem irigasi yang memadai bukan hanya tentang memperbaiki infrastruktur; ini tentang menghormati perjuangan petani yang membajak sawah dengan sepenuh hati. Ketika irigasi berjalan dengan baik, swasembada pangan bukan lagi mimpi, tetapi kenyataan yang lahir dari kesungguhan pemerintah dalam memberi perhatian pada mereka yang menanam dan merawat negeri ini.

Jakarta, 26 Oktober 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademis

Read Entire Article
Pertanian | | | |